Selembar Surat untuk Ani
(Sebuah karya fiksi)
Di sudut kamar itu Ani senantiasa tertunduk dengan mata sembam. Dia telah menemukan dunia barunya yang terlampau sempit. Dunia yang hanya ada sepotong busa, meja kayu, kursi, dan beberapa acesoris yang menjadi makhluknya. Ia anggap ruang itu seperti bumi. Keluar sedikit saja dari ruang itu seperti terbang menuju luar angkasa. Ketika orang masuk ke dalam dunia yang sesempit itu, dia senantiasa berteriak. Seakan-akan dia melihat alien yang datang ke bumi dengan bersenjatakan olok-olok ataupun pandangan kotor.
Tak henti-hentinya aku ingin bertatap muka dengan dia. Tapi aku masih sulit untuk menembus dinding pertahananya . Ketika aku masuk dalam dunianya itu, kau selalu mengancam dengan membunuh jiwa tersayangku yang menyatu dengan raganya. Lama aku merenung tentang cara berkata padanya yang berujung pada penyampaian pesan melalui sebuah kertas. Aku pun menggoreskan tinta pena ini dalam sebuah suratan tentang keibaan, pembelaan, dendam, amarah, hingga celaan, yang semuanya terwakili oleh genggaman tanganku.
Dear Ani, adiku tersayang.
Aku ingin kau untuk tetap berdiri meskipun semangat hidupmu terbunuh oleh segerombol pria yang berbekal buku saku, pulpen, dan alat perekam itu. Aku sadar jiwamu telah terbunuh oleh mereka. Mereka yang selalu memaksa untuk meliput dan mengambil gambarmu hingga gambar sekitar rumah kita, yang ketika dilarang untuk mengambil gambar selalu mengeluarkan kartu kuning yang mampu berkata akan hak bebasnya. Gara-gara itu lingkunganmu semakin menyudutkanmu.
Ani, aku ingin membunuh mereka. Aku ingin mencincang tubuh mereka seperti harga dirimu yang telah terpotong-potong. Lihat saja kepala mereka akan segera hilang seperti senyumanmu yang semakin melenyap. Kemudian tanganya akan ku potong dan aku sayat-sayat untuk mematikan geraknya agar tak ada korban yang akan datang. Setidaknya semua itu tidak terlalu kejam untuk membayar dosa-dosa mereka.
Asal kau tahu dosa mereka lebih berat dari kesalahanmu waktu itu. Aku tahu kau lalai karena terbuai rayuan di masa beranjak dewasamu. Tidakah itu wajar terjadi kelabilan anak muda yang berimbas pada sebuah penyimpangan sosial. Terlebih pengabadian dan penyebaran gambar apa yang kau lakukan itu bukan olehmu. Kau hanya korban atas bisikan penjerumus tentang nikmatnya perbuatan itu. Tidak seperti di layar kaca, dan suratan harian yang disebutkan perbuatanmu dengan gamblang ditambah dengan diputarnya gambar pengabadian itu dengan sensor yang tipis.
Ani, ijinkan aku untuk membunuh mereka. Aku tak mau orang-orang seperti mereka hidup di negeri ini. Kehadiran mereka hanya akan mencoreng nama dunia warta yang tidak terlalu bersih pula di negeri ini. Mereka yang telah memenuhi halaman demi halaman kertas dan layar pemberi kabar itu dengan kata-kata yang seakan sengaja dilebih-lebihkan untuk menyudutkan golonganmu akan aku matikan.
Aku sadar akan berlebihanya beberapa kata dalam surat itu. Aku tak peduli akan itu, setidaknya aku rasa itu impas dengan berlebihanya para pewarta itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar